DAMN! I Love Dance, I Love You


Title : Damn! I Love Dance, I Love You | Cast : Xu Minghao (SVT), Min Jaein (OC) | Other Cast : Jun (SVT) as Minghao friend Zinni & Misoo (Glam), Dohee & Myungji (TinyG) as Jaein friend | Genre : Find by your self | Rate : 17+ | Length: Oneshoot | Story by: eskupse
Please don't plagiarism. Don't repost without full credit
[Cerita hanya fiktif belaka, murni hasil imajinasi pembuat cerita. Mohon tinggalkan comment, kritik, saran & masukan untuk ff ini. Sorry for typo and bad EYD. Happy Reading ^^]

.
.
.

Malam semakin larut, udara semakin dingin di tambah dengan rintik-rintik hujan yang turun. Angin berhembus dengan lembut, tapi akan membuat siapa saja kedinginan jika menerpanya. Jalanan kota mulai terlihat sepi dari kepadatan lalu lintas ataupun orang yang berjalan berlalu lalang. Beberapa di antara mereka mungkin sudah meringkuk di atas ranjang empuk dengan selimut tebal yang akan menghangatkan tubuh mereka dan menemani tidur nyenyak menuju alam mimpi yang indah.

Pemandangan lain justru berbeda di sebuah taman kota. Seakan tak peduli dengan angin malam, udara yang dingin dan rintikan hujan, beberapa orang terlihat berdiri bergerombol mengerumuni sesuatu dan sesekali bersorak sorai. Alunan musik hip hop dan rapp yang terdengar sangat keras dari 2 buah sound system hitam berukuran besar seakan ikut tak peduli dengan malam hari yang semakin larut.

Di tengah kerumuan orang tersebut, ada seorang wanita dengan rambut pirang panjang sedang melakukan dance move dengan menggerakan anggota tubuhnya dengan sangat lincah. Tepat dihadapan wanita itu, berdiri seorang pria berambut pelangi tengah menatap wanita itu dengan tatapan sengit. Tanganya melipat sempurna di depan dadanya. Dia memperhatikan gerakan sang wanita dengan sesekali tersenyum kecut.

“Baiklah, sebaiknya kita tentukan sekarang siapa pemenang dari street dance battle hari ini” ucap seorang lelaki dengan sebuah microfone di tanganya.

Semua orang kembali bersorak sorai.

“Siapakah yang akan menang kali ini? Apakah lelaki pelangi atau wanita pirang ini?” ucap lelaki itu lagi.

Sorakan orang-orang semakin terdengar keras.

“Baiklah langsung saja. Pemenang street dance battle hari ini adalah …….”

Suasana bertambah riuh, orang-orang yang memenuhi taman kota itu terus meneriakan nama 2 orang yang sedang berdiri di tengah-tengah mereka. Teriakan mereka saling bersahutan satu sama lain.

“Selamat kepada Min Jaein. Kau adalah pemenang battle hari ini”

Wanita dengan rambut pirang itu bersorak gembira ketika namanya diumumkan sebagai pemenang. Dia sampai melompat-lompat saking girangnya. Tak jauh dari wanita itu, sang pria pelangi hanya bisa mendengus kesal. Dia memperhatikan wanita yang tengah tertawa bahagia itu dengan tatapan penuh amarah. Tatapanya begitu tajam, seakan penuh dengan kebencian dan amarah.

.
.
.
Taman kota mulai sepi. Beberapa orang yang tadi bergerombol satu persatu mulai pergi meninggalkan 2 orang di sana yang masih saling menatap. Tatapan yang seakan ingin membunuh dan mencabik satu sama lain. Kedua tangan mereka kompak terlipat di depan dada mereka masing-masing.

“Kau kalah, jadi tepati janjimu” ucap Jaein ketus.

Dihadapan Jaein, seorang lelaki dengan rambut pelangi hanya menanggapinya dengan seringaian sinis. Dia menghela nafas kasar dan kemudian menatap Jaein. Entah mengapa si pria pelangi sangat membenci tatapan gadis yang ada di depanya itu.

“Ya! Aku akan menepatinya” ucap pria itu sembari membungkukkan badanya dan melepas sepatu yang melekat di kedua kakinya.

“Aku bersumpah aku pasti akan mengalahkanmu” tambahnya.

Pria itu menyodorkan sepasang sepatu berwarna emas dan putih dengan logo tanda cawang putih si sisi kanan dan kirinya kehadapan Jaein. Jaein menerimanya sembari tersenyum datar.

“Terima sajalah, kalau kau memang selalu kalah denganku. Minghao-ssi” ucap Jaein kemudian.

Jaein membalikkan badanya membelakangi pria pelangi bernama Minghao itu. Jaein kemudian memakai sweter kedodoran dan mengambil tas ranselnya di atas sebuah bangku taman. Minghao sekali lagi hanya bisa mendengus kesal sembari memandangi punggung Jaein. Dia berinisitif untuk pulang meninggalkan taman kota yang sudah sepi itu. Saat akan melangkahkan kakinya, Jaein membalikkan tubuhnya kembali.

“Terimakasih, Minghao-ssi” ucapnya sembari mengangkat sepasang sepatu yang diberikan Minghao tadi.

Jaein melemparkan senyum simpul tanda kemenanganya ke arah Minghao. Dan entah mengapa senyuman itu semakin membuat Minghao kesal. Jaein kembali melangkahkan kaki meninggalkan Minghao yang masih berkutat dengan kekesalanya.

Minghao menendang-nendang segala sesuatu yang ada di sekitarnya, termasuk angin yang hanya sekedar lewat. Dia sangat kesal dan mungkin sangat marah. Dia harus kembali merasakan malu di hadapan banyak orang karena kekalahanya. Dan orang yang selalu membuatnya kalah adalah wanita berambut pirang itu, Min Jaein.

Minghao terus meruntuki dirinya sendiri karena harus menerima kenyataan bahwa dia baru saja dikalahkan lagi oleh Min Jaein dalam street dance battle minggu ini. Minggu lalu memang dia tak kehilangan apa pun, tapi minggu ini dia kehilangan sepatu favoritnya. Minghao lalu menyalahkan dirinya sendiri karena menawarkan taruhan pada Jaein.

“Ahh, sial!” umpat Minghao.

Nafasnya mulai memburu karena lampiasan amarahnya. Minghao menundukkan kepalanya kebawah, tepat dimana kakinya hanya dibalut dengan kaos kaki putih yang tipis sembari berkacak pinggang. Minghao kembali mendengus kesal, kemudian dia tertawa hambar.

“Yya, nikmatilah kemenanganmu Min Jaein. Aku pasti akan segera mengalahkanmu. Tak akan kubiarkan kau terus membuatku malu di hadapan orang-orang” ucapnya.

*******

Jam pelajaran pertama baru saja selesai di laksanakan. Kini kelas kembali riuh dan lengah. Beberapa di antara mereka pergi ke kantin sekolah dan tak sedikit pula yang memilih tinggal di dalam kelas. Begitupun dengan Jaein. Dia memilih duduk di bangkunya. Headset putih terlihat menggantung di kedua telinganya. Pandanganya fokus pada sesuatu yang di tampilkan di layar ponselnya. Sesekali matanya berbinar-binar dan mulutnya membuka membentuk huruf “O”.  Kepalanya juga terlihat bergerak acak. Jari-jarinya mengetuk meja seperti mengikuti sebuah irama musik.

“Keren sekali dia” ucapnya kemudian.

“Tak salah aku menunjukmu sebagi idolaku. Cachi Gonzales-ssi” tambahnya sembari tersenyum tipis.

Jaein kembali fokus menatap layar ponselnya. Tiba-tiba Jaein merasakan seseorang menepuk pundaknya pelan. Jaein menolehkan kepalanya dan kemudian melepas headsetnya. Seorang gadis dengan nametag ‘Nam Jungah’ mengatakan pada Jaein bahwa Yoon sonsaemnim menyuruh Jaein untuk keruanganya. Jaein kemudian mengangguk mengerti dan segera memasukan ponsel beserta headsetnya ke dalam saku seragamnya. Lalu dia melangkahkan kaki keluar kelas dan menuju ruangan Yoon sonsaemnim.

Setelah melewati persimpangan, Jaein sampai di depan pintu ruangan Yoon sonsaemnim. Sebelum masuk dia berhenti sebentar untuk sekedar mengecek penampilanya. Setelah di rasa rapi, Jaein memegang knop pintu ruangan Yoon sonsaemnim. Saat akan menekan knop pintu kebawah, Jaein mendengar suara seseorang.

“Yya! Kau lagi?”

Jaein menolehkan kepalanya ke sumber suara. Wajahnya berubah masam ketika melihat siapa pemilik suara itu.

“Yya. Sebegitu sialnya kah aku hingga juga harus bertemu denganmu di sekolah?” ucap Minghao sembari menunjuk-nunjuk wajah Jaein dengan jari telunjuknya.

Jaein hanya memandang wajah Minghao datar dan kemudian menepis jari telunjuk Minghao kasar.

“Jika kau tidak ingin bertemu denganku, pindah saja ke sekolah lain. Mudahkan?” ucap Jaein ketus.

Minghao akan membalas ucapan Jaein itu, namun gadis itu lebih dulu mengetuk pintu ruangan Yoon saem kemudian kembali menekan knop pintunya.

“Permisi Yoon saem, apakah aku boleh masuk?” ucap Jaein sopan.

“Oh, kalian berdua sudah datang. Silahkan masuk” ucap Yoon saem.

Ucapan Yoon saem itu seketika membuat Jaein dan Minghao saling berpandangan bingung. Seakan masa bodoh, Jaein lebih dulu melengos lalu masuk kedalam ruangan itu. Melihat tingkah laku gadis yang sangat menyebalkan itu, Minghao hanya bisa menahan kekesalanya dengan berdecak kecil lalu ikut masuk ke dalam ruangan Yoon saem.
.
.
.
Jaein merebahkan kepalanya di atas meja. Ucapan Yoon sonsaem beberapa menit yang lalu terus terngiang di telinga dan pikiranya. Jaein kemudian mengangkat kepalanya dan bersandar pada sandaran kursi. Nafas kasar pun keluar dari mulut kecilnya.

“Apakah tak ada cara lain? Dan kenapa harus dia?” tanya Jaein entah pada siapa.

Jaein kembali menghela nafas kasar.

“Berada satu panggung denganya ya? Tapi jika harus menari bersamanya? Bagaimana bisa aku melakukan itu?” gumamnya lagi.

“Ahhh, molla molla molla” ucapnya lagi sembari mengacak rambutnya frustasi.

Sementara itu di kantin sekolah, Minghao menghabiskan sekaleng soda dalam satu kali minum. Setelah meletakkan kaleng soda kosong itu di atas meja, Minghao mengambil sebotol air mineral dan kembali meminumnya hingga habis. Jun yang berada di depanya, menatapnya bingung.

“Yya yya, perutmu tidak kembung jika kau minum sebanyak itu?” ucap Jun kemudian.

Minghao hanya diam dan terus meneguk sisa air mineral di dalam botol. Setelah menghabiskan sekaleng soda dan sebotol air mineral Minghao kembali ingin merampas orange juice yang ada di tangan Jun. Dengan sigap Jun menjauhkan orange juicenya dari jangkauan tangan Minghao.

“Yya, kau sudah habis sekaleng soda dan sebotol air mineral masih mau mengincar orange juice ku?” ucap Jun.

“Aku haus hyung, berikan padaku” ucap Minghao sembari kembali menjangkau orange juice yang kembali dijauhkan oleh Jun.

Shiero! Jika kau mau, beli sendiri! Jangan ambil punyaku” ucap Jun kembali.

Minghao hanya menghela nafas kasarnya. Dia kemudian duduk di sebuah kursi yang berjarak tak jauh darinya. Minghao menghempaskan tubuhnya lemas di atas di kursi tersebut. Jun lalu memandangi wajah Minghao yang terlihat sangat tidak bertenaga itu.

“Sebenarnya kau kenapa Minghao-ah? Kenapa wajah dan tingkah lakumu jadi aneh setelah keluar dari ruangan Yoon saem? Apa yang dia katakan?” tanya Jun sembari menggeret sebuah kursi dan kemudian duduk di hadapan Minghao.

Minghao menghela nafas lesu.

“Dia memintaku untuk perfom dalam acara pensi sekolah bulan depan” ucap Minghao lirih.

Jun mengerutkan dahinya.

“Lalu? Bukanya itu bagus?” tanya Jun.

Minghao menggelengkan kepalanya pelan.

“Tidak hyung, itu tidak bagus. Aku harus menari dengan gadis itu” ucapnya.

Jun semakin mengerutkan dahinya bingung.

“Apakah maksudmu Min Jaien?” ucap Jun lagi.

Minghao mengangguk lesu.

“Lalu apa masalahnya? Bukankah kalian sering menari bersama dalam satu panggung?” ucap Jun lagi seraya melipat kedua tanganya di depan dada dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

“Itu battle hyung dan kami tidak sedang menari bersama. Aku selalu menganggamnya rival saat di panggung, tapi ini aku menari bersamanya. Apakah itu mungkin? Membayangkanya saja aku tidak sanggup” ucap Minghao panjang lebar.

Jun tertawa kecil mendengar ucapan Minghao.

“Jika kau tidak mau, kenapa tidak menolaknya?” ucap Jun lagi.

Minghao kembali menghela nafas lesu. Pertanyaan Jun itu membuat wajah Minghao terlihat semakin tak bertenaga.

“Yoon saem bilang nilaiku sangat buruk semester ini. Dia bilang jika aku bersedia perfom saat pensi nanti, dia akan menambah nilaiku. Dia tidak ada waktu untuk memberikan ujian tambahan atau tugas lainya karena dia harus pergi ke luar negeri lusa”

Jun menganggukan kepalanya pelan. Dia kembali memandang adik tingkatnya yang semakin terlihat lesu itu.

“Lalu bagaimana dengan Jaein?” tanya Jun kemudian.

“Dia berada dalam posisi yang sama denganku. Kurasa dia juga tidak akan bisa untuk menolak, kecuali jika dia ingin nilainya buruk” Jawab Minghao.

Jun tersenyum tipis. Dia kemudian menepuk pundak Minghao pelan.

“Sudahlah, lakukan saja. Anggap saja untuk menyelamatkan nilaimu yang buruk semester ini. Kau pasti tau betul bagaimana jika orang tua mu tau nilaimu jelek di sekolah” ucap Jun.

Minghao hanya diam dan menundukkan wajahnya.

Jun semakin memandang iba pada adik tingkat yang telah dikenalnya saat Minghao pertama kali masuk ke sekolah ini.

Untuk seorang Minghao, menari ibarat oksigenya. Dia tidak akan bisa hidup tanpa menari. Minghao sangat menyukai tarian melebihi apapun. Minghao sejak kecil sudah sangat menyukai tarian. Dia selalu sendirian di dalam rumah yang sangat besar. Saat kesepian dia akan menari. Saat sedih atau senang dia juga akan menari. Boleh dibilang menari adalah sahabat terbaik untuk Minghao. Baginya, hanya tarian yang mengerti dengan suasana hatinya.

Orang tua Minghao selalu sibuk dengan pekerjaan mereka, tapi bukan berarti mereka tidak perhatian dengan Minghao. Terutama dengan sekolahnya. Orang tuanya memantau bagaimana nilai-nilai Minghao di sekolah. Jika orang tuanya tau nilainya buruk, maka orang tuanya akan melarang Minghao melakukan semua kegiatanya di luar sekolah, termasuk menari.

Minghao kini berada pada tingkat 2 sekolah menengah atas. Setelah pengumuman akhir semester, dia akan naik pada tingkat 3. Dia tentu tidak ingin orang tuanya melarangnya menari jika tau nilainya buruk. Dia tidak ingin kejadian saat dia berada pada tingkat 2 sekolah menengah pertama, kembali terulang. Minghao tidak ingin kehilangan oksigenya lagi untuk kedua kalinya.

Namun menari dengan seorang Min Jaein benar-benar memberikan beban tersendiri baginya. Minghao selalu kesal jika bertemu dengan wanita yang satu sekolah denganya itu. Entah apa alasanya, yang jelas Minghao sangat tidak menyukai wanita berambut pirang itu sejak mereka pertama kali bertemu.

Minghao dan Jaein dipertemukan pertama kali dalam street dance battle yang diadakan seminggu sekali di taman kota. Saat itu lawan Minghao adalah Jaein. Minghao sempat memandang remeh gadis dengan tubuh kurus itu, namun dugaanya salah besar. Minghao yang telah mendapatkan gelar juara bertahan harus rela dikalahkan dengan Jaein yang notabene adalah seorang pendatang baru. Battle demi battle terus mempertemukan mereka berdua. Jaein selalu mendominasi kemenangan, sedangkan Minghao sebaliknya.

Beberapa temanya selalu mengejek Minghao karena dia harus terus kalah dengan Jaein. Harga dirinya tercoreng dan gelar juara bertahanya harus hilang hanya karena gadis kurus seperti Jaein. Sejak saat itu, Minghao menyimpan rasa benci dan kesal pada Jaein. Terlebih dengan sikap Jaein yang cuek dan terkesan angkuh dimata Mingahao setiap kali gadis itu menang dan melakukan selebrasi yang menurut Minghao sangat berlebihan. Rasa bencinya semakin menjadi-jadi saat mengetahui bahwa Jaein satu sekolah denganya namun berbeda kelas.

*******
Krrringggg ~

Bel tanda berakhirnya kelas telah berbunyi. Setelah para murid memberikan salam kepada guru, mereka langsung membereskan semua peralatan mereka dan bergegas pergi meninggalkan kelas. Hal yang sama dilakukan oleh Jaein. Sebelum meninggalkan kelas dia kembali memasang headset di telinganya. Setelah memutar lagu dalam playlistnya, Jaein berjalan dengan santai menyusuri lorong kelas hingga sampai gerbang sekolah.

Jaein menoleh ke belakang saat dia merasakan seseorang menyentuh pundaknya. Dia kemudian melepaskan headsetnya. Wajahnya berubah masam saat melihat Minghao di hadapanya.

“Kau tuli ya? Kenapa terus berjalan saat aku memanggilmu?” ucap Minghao ketus.

Jaein hanya menunjukkan sepasang headset di tanganya pada Minghao dan lelaki itu pun hanya bisa mendengus kesal.

“Kita harus bicara” ucap Minghao kemudian.

“Bicara saja” ucap Jaein cuek sembari melipat kedua tanganya di depan dadanya dan sedikit menekuk kaki sebelah kananya.

Minghao berdecak sinis melihat gesture tubuh Jaein itu.

“Mengenai hal yang dikatakan Yoon saem, kapan kita bisa memulai latihan? Waktunya sangat singkat” ucap Minghao.

Jaein terdiam sebentar seperti memikirkan jawaban untuk pertanyaan Minghao itu.

“Kita lakukan setelah battle minggu ini” ucapnya kemudian.

“YYA! Kau gila? Itu artinya kita hanya punya waktu 3 minggu! Mana cukup!” ucap Minghao setengah berteriak.

Jaein memandang lelaki itu sesaat.

“Jika tidak yakin serahkan saja semuanya padaku. Aku akan mengurusnya. Sejak awal kau itu memang payah” ucap Jaein datar.

Minghalo membelalakan matanya.

“Apa yang kau bilang tadi?” ucapnya kemudian.

“Aku bilang kau itu payah. Kau. Payah. Xu. Minghao” ucap Jaein sambari memberikan penakanan pada setiap kata yang diucapkanya di akhir kalimat.

Minghao semakin membelalakan matanya dan wajahnya mulai memerah. Sesuatu yang bernama ‘amarah’ sepertinya sudah ada di puncak kepalanya. Dadanya terasa sesak menahan rasa kesal dan marah yang begitu besar. Dia terus menatap Jaein dengan tatapan yang tajam.

Jaein membalas tatap Minghao itu dengan tatapan remehnya. Setelah beberapa detik saling menatap dengan penuh emosi, Jaein kembali membalikkan badanya hendak kembali berjalan menuju gerbang sekolah. 

“Ayo kita taruhan lagi pada battle minggu ini” ucap Minghao.

Jaein sontak menghentikan langkahnya. Tangannya yang kembali akan memasang headset di telinganya kembali turun mendengar ucapan Minghao. Jaein tersenyum kecut dan kembali membalikkan tubuhnya menghadap Minghao.

“Kau masih ingin bertaruh denganku setelah kalah berkali-kali?” ucap Jaein.

“Aku yakin aku akan menang kali ini” ucap Minghao penuh percaya diri.

Jaein tertawa hambar.

“Baiklah. Dengan senang hati aku menerimanya” ucapnya.

“Jika kau menang, kau boleh meminta apa pun padaku tapi jika aku yang menang aku yang akan meminta apa pun padamu. Deal?” ucap Minghao sembari mengulurkan tanganya kearah Jaein.

Jaein hanya memandangi tangan Minghao yang terulur ke arahnya itu.

“Deal” ucapnya singkat tanpa membalas uluran tangan Minghao.

Jaein kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Minghao. Minghao yang masih berdiri dan menatap punggung Jaein kemudian mengalihkan pandanganya pada tanganya yang masih terulur itu. Dia kemudian tertawa hambar dan menurunkan tanganya kasar.

“Bodoh. Kenapa aku harus mengulurkan tangan kepadanya?” ucapnya kemudian.

Setelah membenarkan posisi tas yang menggantung di salah satu pundaknya, Minghao berjalan keluar meninggalkan sekolah.

*******

Hari mulai petang. Matahari yang bersinar cerah sudah menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Cahaya matahari berganti dengan cahaya bulan dan bintang yang bersinar tak kalah cerah dengan matahari. Beruntung ini adalah malam yang cerah. Tidak ada awan mendung atau hujan yang turun.

Jaein telah siap dengan celana jeans selutut berwarna biru dongker, atasan kaos oblong berwarna putih polos, sepatu sneakers semata kaki dan snapback hitam terbalik menutupi atas kepalanya. Tak lupa tas ransel kesayangan yang menggantung di belakang punggungnya.

“Eomma, aku berangkat” ucapnya pada wanita paruh baya yang tengah sibuk di dapur.

Wanita paruh baya itu keluar dari dapur dan mengusapkan tanganya pada apron kumuh yang melekat di bagian depan tubuhnya. Jaein meraih tangan wanita itu dan kemudian mengecup punggung tangan wanita itu.

“Hati-hati. Jangan pulang terlalu malam” ucap wanita itu kemudian.

“Arraso eomma. Aku pergi. Daaaaa” ucap Jaein sembari melambaikan tangan kearah ibunya dan kemudian menghilang dibalik pintu.
Sekitar 10 menit berjalan kaki, Jaein sampai di sebuah café kecil dengan dominasi cat tembok berwarna merah dan hitam. Jaein melangkahkan kaki memasuki café tersebut lalu mengedarkan pandanganya ke segala penjuru café. Hingga pandanganya berhenti di pojok kanan café ketika seorang wanita yang sebaya denganya melambaikan tangan kearahnya. Jaein membalas lambaian tangan wanita itu dan kemudian berjalan menghampiri wanita itu.

“Jaein-ah, kau datang?” ucap wanita berambut panjang berwarna coklat.

“Ne. Aku tidak terlambatkan?” ucap Jaein.

“Tidak. Kita akan tampil 10 menit lagi” ucap wanita itu lagi sembari tersenyum simpul.

“Myungji-ah. Mana yang lain? Apakah belum datang?” tanya Jaein.

“Tidak, mereka semua sudah datang. Mereka ber-3 sedang ketoilet. Kau tau kan mereka selalu sakit perut tiba-tiba jika kita akan tampil” jawab wanita bernama Myungji itu.

Jaein hanya tertawa kecil menanggapi ucapan Myungji.

Tak selang berapa lama setelah percakapan mereka, wanita dengan rambut pirang sebahu datang menghampiri mereka di susul dengan 2 wanita lain di belakangnya.

“Aigoo, leganya” ucap wanita dengan rambut hitam sebahu sembari mengelus-elus perutnya.

“Yya, yya sebentar lagi kita akan tampil” ucap wanita berambut panjang yang dikepang 2 bernama Zinni.

Mereka ber-5 kemudian membentuk lingkaran dan saling menggenggam tangan satu sama lain.

“Baiklah, cukup lakukan seperti biasanya girls. Jangan gugup atau nervous. Anggap saja ini seperti latihan kita biasanya” ucap Myungji yang di iringi dengan anggukan mantap oleh ke-4 rekanya.

Girl’s Attack Fighting!” ucap mereka ber-5 bersamaan.

“Baiklah mari kita sambut penampilan peserta selanjutnya. Berikan tepuk tangan kalian untuk…… Girl’s Attack” ucap seorang pria dari atas panggung.

Jaein, Myungji, Zinni, Dohee dan Miso satu persatu menaiki panggung di iringi dengan suara tepuk tangan dan teriakan riuh para pengunjung café. Mereka mengatur posisi di atas panggung. Setelah dirasa posisi mereka benar, Myungji mengacungkan ibu jarinya kepada operator musik. Sang operator mengangguk dan beberapa detik kemudian musik dengan irama hip hop menggema di seluruh penjuru café. Setelahnya ke-5 gadis itu mulai menari dengan sangat lincah dan energik.

Para pengunjung yang melihat aksi mereka tak henti-hentinya memberikan tepuk tangan dan teriakan ketika Zinni mulai melakukan breakdance move, Jaein dan Myungji dengan wackking enerjik dan tak ketinggalan Dohee dan Miso yang melakukan gerakan akrobatik. Aksi mereka di akhiri dengan Zinni yang melakukan Freeze sempurna, Dohee dan Myungji yang melakukan split di samping kanan dan kiri Zinni sedangkan Jaein bersama Miso yang berpose jongkok setelah sukses melakukan salto. Suara tepukan penonton semakin terdengar riuh ketika mereka ber-5 membungkukkan badan dan turun dari atas panggung.
.
.
.
“Kerja bagus girls kalian sangat hebat” ucap Myungji sembari mengacungkan salah satu ibu jarinya dan sebuah piala yang lumayan tinggi.

“Aihh, kau juga hebat leader-nim” ucap Dohee yang juga mengacungkan kedua ibu jarinya kehadapan Myungji.

Myungji tertawa kecil di ikuti dengan Zinni, Jaein, dan Misoo.

“Ahh, ini untukmu Jaein-ah” ucap Myungji sembari menyodorkan beberapa lembar uang kepada Jaein.

Jaein menerima lembaran uang tersebut dan kemudian menghitungnya.

“Yya, ini terlalu banyak. Apakah kau yakin sudah membaginya sama rata?” ucap Jaein kemudian.

“Sudahlah terima saja. Kau lebih membutuhkanya ketimbang kami” ucap Zinni yang di ikuti dengan anggukan mantap dari Myungji, Misoo dan juga Dohee.

“Tapi….”

“Sudahlah Jaein-ah terimalah. Jika kau tidak mau menerimanya, kau tidak akan kuizinkan ikut kompetisi lagi” ucap Myungji dengan nada mengancam.

“Benarkah aku boleh menerima ini semua?” tanya Jaein ragu.

Ke-4 temanya kembali mengangguk mantap dengan bersamaan. Jaein tertawa kecil melihat anggukan mereka yang sangat kompak itu. Kemudian dia merentangkan kedua tanganya dan memeluk ke-4 temanya itu.

“Gomawo. Kalian memang teman terbaikku”

Ke-4 temanya membalas pelukan Jaein. Mereka saling berpelukan dan saling tertawa di tengah udara yang dingin. Suara tawa bahagia mereka memecah keheningan malam yang semakin larut. Mungkin bulan dan bintang yang bersinar menjadi saksi bisu persahabatan mereka yang telah terjalin sangat lama itu.
Jaein, Myungji, Zinni, Misoo dan Dohee adalah ke-5 gadis yang menjalin persahabatan sejak lama. Tarianlah yang mempertemukan mereka saat mereka ada di tingkat awal sekolah menengah pertama. Ke-5 gadis itu sepakat membentuk sebuah grup dance bernama Girls Attack. Mereka pun mulai mengukuti kompetisi-kompetisi dance mulai dari kompetisi kecil hingga yang berskala nasional. Awalnya mereka memang harus berkali-kali kalah, tapi ke-5 gadis ini tidak mengenal kata menyerah dan putus asa. Dengan seluruh kerja keras mereka, kini siapa yang tak mengenal Girls Attack dalam dunia dance.

Mereka ber-5 mempunyai keahlian masing-masing. Myungji adalah ahli dalam lady style dan free style move sekaligus menjabat sebagai leader Girls Attack. Zinni unggul dalam breakdance move sekaligus satu-satu B-Girl dalam grup mereka, Jaein mempunyai keahlian yang sama dengan Myungji, dia ahli dalam gerakan lady style dan free style, sedangkan Dohee dan Misoo unggul dalam gerakan akrobatik.

Myungji dan adiknya Misoo serta Zinni dan Dohee terlahir dari keluarga yang kaya. Berbeda dengan Jaein yang terlahir dari keluarga yang sederhana. Dia anak satu-satu dan kini hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya sudah lama meninggal saat Jaein berumur 2 tahun. Sehari-hari ibu Jaein mengurus warung kecil miliknya yang menjual berbagai macam makanan kecil. Seperti ramen, ddeobokkie, odeng dan lain-lain.

Meskipun terlahir dengan latar belakang yang berbeda, Myungji, Misoo, Dohee dan Zinni tidak pernah menganggap Jaein berbeda. Mereka malah sering membantu Jaein jika Jaein mengalami kesulitan. Seperti memberikan jatah uang hasil menang lomba mereka kepada Jaein dan bantuan lainya. Jaein sangat bersyukur karena Tuhan memberinya teman seperti Myungji, Misoo, Dohee dan Zinni.

*******
Sesuai dengan kesepakatan, hari ini Jaein dan Minghao akan melakukan latihan pertama mereka untuk acara pensi sekolah. Setelah menunggu di depan gerbang sekolah selama 20 menit lebih, akhirnya Minghao datang dengan nafas terengah-engah. Setelah meminum sebotol air mineral dan kembali mengatur nafasnya, Minghao berjalan mendahului Jaein.

“Aku punya studio pribadi, kita latihan di sana saja” ucap Minghao.

Jaein hanya menghela nafas kasar dan memilih mengikuti Minghao dengan malas.

Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di dalam studio dance pribadi milik Minghao. Ruangan itu sangat besar dan seluruh temboknya dipenuhi dengan cermin-cermin berukuran besar. 2 buah sound system besar di pojok ruangan, DVD Player serta TV Flat terletak tak jauh dari 2 sound system itu. Jaein mengedarkan pandanganya ke seluruh ruangan.

“Sepertinya studio dance ini lebih besar ketimbang milik Myungji” gumam Jaein.

Jaein kembali mengedarkan pandanganya dan tak henti memberikan pujian pada setiap sudut yang ada di ruangan itu. Meskipun tak diucapkanya, namun bisa dilihat dari kedua matanya yang berbinar.

“Jadi bagaimana rencanamu? Apakah kau sudah punya ide?”

Ucapan sang pemilik ruangan memecah lamunan sesaat Jaein. Dia kemudian menoleh kearah Minghao yang terlihat sudah mengganti seragamnya dengan training dan kaos oblong hitam sembari membawa sebuah laptop di tanganya.

“Eoh, aku sudah memikirkan beberapa ide” ucap Jaein sembari menghampiri Minghao yang kini tengah terduduk di lantai studio.

“Jadi bagaimana idemu? Kau bisa katakan sekarang dan kita bisa segera mulai latihan” ucap Minghao.

“Bagaimana jika di awali dengan tarian solo kita berdua. Pertama aku akan menari solo selanjutnya kau. Setelah itu kita menunjukkan beberapa free style secara bergantian. Kemudian barulah kita menari bersama” ucap Jaein

Minghao menopang dagunya dengan telapak tanganya sembari memandang Jaein. Kepala mengangguk-angguk mendengar ucapa Jaein.

“Tapi ini akan bekerja bila disertai dengan permainan lighting” tambah Jaein.

“Itu mudah. Kita bisa melakukan beberapa latihan dengan operator lighting nanti” jawab Minghao.

Jaein menganggukan kepalanya.

“Aku sudah mengedit beberapa lagu untuk part solo dance kita. Mungkin kau mau menambahkan atau mengganti lagunya saat bagianmu” ucap Jaein sembari menyodorkan sebuah flashdisk ke arah Minghao.

Setelah menerima dan kemudian menghubungkan flashdisk dengan laptop, Minghao memutar satu-satunya lagu yang ada di dalam flashdisk itu. Kepala mereka bergerak mengikuti irama yang muncul. Jaein mulai menjelaskan bagaimana pembagian part solo dance mereka.

“Ini adalah part mu” ucap Jaein ketika lagu yang mereka putar memainkan irama upbeat.

Minghao mulai menggerakan tubuhnya. Dengan sangat natural gerakan breakdance move nya dapat mengimbangi irama lagu upbeat tersebut.

“Tidak buruk. Mungkin aku akan mengeditnya sedikit” ucap Minghao sembari menyeka keringat yang sedikit mengucur di pelipis kananya.

Jaein hanya mengangguk mengiyakan.

“Baiklah kita mulai saja latihanya” ucap Minghao kemudian.

Jaein pun kembali menganggukan kepalanya.
.
.
.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Latihan pertama mereka hari ini telah selesai mereka lakukan. Mereka tak banyak bicara setelah latihan itu. Hanya bicara ala kadarnya dan saat diperlukan saja.  Minghao dan Jaein terduduk di lantai sembari menyandarkan punggung mereka di tembok. Mereka mencoba mengatur nafas yang terengah-engah. Keringat telah membasahi tubuh mereka berdua dan membuat pakaian yang mereka gunakan basah.

“Mengenai taruhan kita, apa yang akan kau minta dariku?” ucap Minghao setelah menegak habis sebotol air mineral.

“Entahlah. Aku masih memikirkanya” ucap Jaein seraya menyeka keringat di keningnya dengan punggung tanganya.

“Mungkin aku meminta sesuatu yang berharga darimu, jadi bersiaplah” tambah Jaein.

Minghao hanya diam dan mengeryitkan dahinya.

“Sudah ku bilang kau pasti akan kalah. Kenapa meminta taruhan lagi? Dasar bodoh” ucap Jaein lagi.

Minghao membelalakan matanya “Yya!”

“Sejak awal battle aku tau bahwa kau memang lawan yang payah Minghao-ssi. Aku bahkan tak percaya bahwa kau menerima gelar juara bertahan” ucap Jaein lagi sembari tersenyum remeh.

“Yya! Min Jaein!”

Minghao mulai berdiri dan memandang Jaein yang masih duduk dengan tatapan kesal dan tajam. Jaein memandang Minghao tak kalah tajam dan kemudian senyuman remehnya kembali mengembang diwajahnya.

“Aku pasti bisa memperoleh lagi gelar itu dan aku pasti akan mengalahkanmu. Jadi berhentilah bersikap sombong dan meremehkan aku!” ucap Minghao dengan suara tertahan.

Jaein meringis.

“Coba tunjukan. Kalahkan aku sekali saja, maka aku akan mengakui kemampuanmu dan berhenti untuk meremehkanmu” ucap Jaein sembari berdiri dari posisinya.

Minghao hanya diam dengan amarah yang masih tertahan dan terus memandang Jaein kesal. Jaein kembali melempaskan senyuman remehnya kepada Minghao. Dia kemudian memakai sweter kedodoranya dan mengambil tas serta barang-barangnya.

“Akan kutunggu saat itu, saat kau mengalahkanku” ucap Jaein seraya menggantungkan tas ranselnya disalah satu bahunya dan berlalu begitu saja keluar ruangan.

Minghao hanya mendengus kesal. Dia memandang punggung Jaein yang berlalu begitu saja tanpa mau berpamitan padanya. Sungguh jika Jaein bukan seorang wanita, Minghao pasti sudah mendorong atau menghajar gadis menyebalkan itu. Pasti dia akan bisa tertawa terbahak-bahak jika Jaein jatuh tersungkur atau wajahnya jadi sangat aneh setelah dia menghajarnya. Sayangnya Jaein adalah wanita dan Minghao bukanlah pria yang mau bermain fisik dengan seorang wanita. Sekali lagi Minghao hanya bisa mendengus kesal. Mulutnya pun tak henti-hentinya mengeluarkan umpatan kejam kepada gadis berambut pirang itu. Bahkan hingga Jaein menghilang di balik pintu, Minghao masih saja melampiaskan kekesalanya pada gadis itu.

*******
Hari ini mereka sepakat untuk melakukan latihan kembali karena persiapan mereka belum mencapai 50%. Jaein terpaksa datang terlambat karena harus mengurus beberapa keperluan warung ibunya. Saat sudah sampai di studio dance milik Minghao, dia melihat Minghao yang tengah melakukan windmill beberapa kali kemudian diakhiri dengan baby freeze.

“Cepat ganti pakaianmu dan segera mulai latihan” ucap Minghao yang ternyata menyadari kehadiran Jaein tanpa menghentikan gerakan top rocknya.

Jaein tak menjawab ucapan Minghao dan segera mengganti pakaianya. Tak berapa lama dia telah kembali dan melukan pemanasan sebentar di belakang Minghao.

“Aku sudah membuat beberapa koreografi” ucap Minghao ketika melihat Jaein telah selesai dengan pemanasanya.

“Hmm, tunjukan saja” ucap Jaein.

Minghao lalu memutar sebuah lagu berjudul If I Were A Boy (Beyonce) yang telah di aransemenya. Dia lalu mulai menggerakan tubuhnya mengikuti setiap lirik lagu itu.

“Kau membuat koreografi lyrical?” ucap Jaein setelah Minghao selesai menunjukkan koreografinya.

Minghao mengangguk.

“Kau sedang tidak memanfaatkan kesempatan kan sekarang?” ucap Jaein dengan sinis.

Minghao mengerutkan dahinya “Maksudmu?”

Jaein meringis “Koreografi yang kau buat. Kau tidak sedang menggunakan kesempatan untuk menyentuhku dengan koreografi itu kan?”

Minghao membulatkan matanya lalu dia tertawa hambar.

“Yya, mana sudi aku menyentuhmu. Jika pun aku menyentuhmu itu karena terpaksa. Percaya diri sekali kau jika aku mau menyentuhmu. Cih” ucap Minghao ketus.

“Lalu kau ingin koreografi seperti apa? Kau mau melakukan sama seperti jika kita melakukan battle? Yang benar saja Min Jaein-ssi. Kita ada di acara pensi sekolah bukan street dance battle” tambah Minghao masih dengan ucapan ketus.

Jaein menghela nafas kasar. Ucapan Minghao ada benarnya. Mereka akan tampil di acara pensi sekolah bukan street dance battle. Lagipula pensi sekolah bukanlah acara dance battle. Para penontonya pun sangat berbeda. Selain itu battle sangat tidak cocok di bawakan pada acara seperti pensi sekolah.  Dan tarian lyrical memang sangat cocok untuk tari berpasangan. Seperti dirinya dan Minghao.

“Baiklah, jika memang begitu, itu lebih baik untukku. Dan kuharap kau tidak mengingkarinya” ucap Jaein kemudian.

Minghao kembali tertawa hambar. Entah mengapa gadis itu setiap harinya bahkan setiap detiknya selalu membuatnya menjadi semakin kesal. Mulai dari ucapan hingga gesture tubuhnya. Tak ada sisi baik dari Jaein selain membuatnya kesal.

“Yya, kukatakan sekali lagi bahwa aku terpaksa menyentuhmu. Camkan itu baik-baik” ucap Minghao sinis.

Setelahnya mereka mulai melakukan latihan hari kedua mereka menggunakan koreografi yang dibuat oleh Minghao. Koreografi yang dibuat Minghao memang menunjukan banyak skinship. Seperti berpelukan, menyentuh pipi dan bergandengan tangan. Meskipun Jaein sering menepis kasar tangan Minghao yang menyentuhnya, latihan mereka bisa dibilang lancar.

Latihan demi latihan mereka jalani hampir setiap harinya. Setelah pulang sekolah, Jaein akan menunggu Minghao di depan gerbang sekolah. Lalu mereka akan pergi bersama-sama ke studio dance pribadi milik Minghao. Tetap dengan Minghao yang selalu berjalan di depan Jaein, dan Jaein yang mengikuti dengan langkah malas. Persiapan mereka pun sudah mencapai 80%.

Akibat dari keintensan pertemuan mereka setiap harinya, menimbulkan perasaan yang lain dari biasanya. Desir-desir dalam hati Minghao mulai timbul ketika Jaein yang baru saja menghadiri acara ulangtahun pernikahan orangtua Dohee datang untuk berlatih denganya. Jaein saat itu menggunakan dress press body berwarna soft pink, high heels 7cm berwarna putih tulang dan sebuah tas tangan berwarna senada. Rambut pirangnya di gerai seadanya dengan make up tipis menghiasi wajahnya. Entah mengapa Jaein saat itu terlihat sangat cantik di mata Minghao.

Pada latihan hari itu Minghao tak lepas dari rasa gugup. Dia tidak bisa mengontrol detakan jantung dan kedua bola matanya tidak pernah terlepas untuk menatap Jaein. Hingga tiba-tiba keduanya saling menatap di tengah-tengah koreografi yang sedang mereka lakukan. Minghao menatap Jaein dengan sangat lembut. Sebuah tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Dan entah mengapa, Jaein membalas tatapan Minghao. Dia menatap jauh kedalam manik mata pria jangkung itu dan dia merasakan sebuah kelembutan, damai dan hangat. Tatapan itu, rasanya Jaein baru kali ini merasakanya semenjak mereka saling mengenal.

Minghao rupanya baru menyadari bahwa gadis didepanya ini sangat cantik. Dia juga baru menyadari bahwa Jaein mempunyai mata berbinar yang sangat indah. Entah karena angin apa atau Minghao kerasukan sesuatu, dia perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Jaein. Hingga hidung dan bibir mereka ada pada jarak yang sangat dekat dan sebuah ciuman hangat mendarat pada bibir tipis Jaein. Jaein hanya mengedip-ngedipkan matanya dan beberapa detik setelahnya dia mendorong dada Minghao. Wajahnya sudah berubah menjadi merah madam.

“Ma.maaf. Ak..aku tidak bermaksud untuk mencium mu tadi. Ma..maaf” ucap Minghao gugup.

Jaein hanya menundukkan kepalanya. Itu adalah ciuman pertamanya. Jaein menjadi salah tingkah. Dia dapat merasakan kegugupan dan jantungnya ikut bedetak tak normal.

“Ak..aku harus pulang” ucapnya kemudian.

“Biar kuantar. Ini hampir larut, tidak baik jika kau pulang sendirian” ucap Minghao hati-hati.

Jaein menggeleng dengan cepat “Tidak. Biar aku pulang sendiri”

“Kau yakin akan pulang sendiri dengan penampilan seperti itu? Apalagi ini hampir larut malam” ucap Minghao lagi.

Jaein menggigit bibir bawahnya gusar. Ucapan Minghao benar dan memang dia tidak yakin berani pulang sendiri. Tapi mengingat ciuman Minghao tadi membuatnya bertambah gugup.

Minghao menghela nafasnya melihat Jaein hanya diam. Dia lalu menyambar kunci mobil yang terletak di atas meja kayu tak jauh darinya.

“Ayo. Aku akan mengantarmu” ucap Minghao sembari menarik tangan Jaein.

Jaein pun hanya bisa pasrah ketika Minghao menarik tanganya.
.
.
.
“Maaf, soal tadi” ucap Minghao.

Mereka saling berdiam diri sejak masuk ke dalam mobil sport Minghao. Suasana hening dan gugup menyelimuti mereka beberapa menit sebelumnya. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga Minghao akhirnya memberanikan diri untuk membuka percakapan terlebih dahulu.

“Eoh? Ya, tidak apa-apa”

Jaein menanggapi ucapan Minghao seadanya. Demi apa pun dia tidak ingin membahas hal itu. Jaein masih merasa sangat gugup. Dia hanya bisa memilin jarinya dan menggigit bibir bawahnya. Fakta bahwa dia baru saja mendapatkan ciuman pertamanya dan itu dari Minghao membuatnya menjadi seperti ini sekarang.

Setelah ucapan Jaein mereka kembali saling diam. Hanya Jaein yang berkata seadanya untuk menunjukkan arah rumahnya pada Minghao. Akhirnya mereka sampai di depan gang kecil dan tepat di ujung jalan adalah rumah Jaein. Sebelum pergi, Jaein mengucapkan terimakasih kepada Minghao.

“Jaein-ah”

Jaein menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Minghao.

“Kau sangat cantik hari ini” ucap Minghao malu-malu namun ada sebuah kejujuran di sana.

Seketika Jaein merasakan jantungnya seperti di hantam sesuatu yang keras. Minghao baru saja memujinya cantik. Dan itu juga pertama kalinya, seorang pria yang memujinya cantik. Jaein kembali tersipu malu dan wajahnya kembali memerah.

“Terimakasih” ucapnya kemudian.

Minghao kembali tersenyum tipis. Dia lalu mengibaskan tanganya pada Jaein, menyuruh gadis itu untuk segera pergi dan masuk kedalam rumahnya. Jaein pun hanya mengangguk dan kemudian kembali melangkah menuju rumahnya, masih dengan senyum malu-malunya.

Setelahnya mereka berdua kembali memikirkan apa yang baru saja terjadi. Mulai dari penampilan berbeda Jaein, tatapan dan ciuman Minghao hingga Minghao yang memuji Jaein. Senyuman tipis tak henti-hentinya mengembang di wajah mereka berdua ketika mengingat setiap step kejadian yang terjadi hari ini. Itu adalah pertama kalinya mereka bersikap seperti itu satu sama lain semenjak mereka saling mengenal.

Hari kembali berjalan seperti biasa. Minghao & Jaein juga melakukan aktivitasnya seperti biasa. Dan tentu saja mereka semakin giat berlatih karena pensi sekolah semakin dekat. Hanya saja sikap dan perasaan mereka kini mulai berubah. Jaein semakin sering salah tingkah dan Minghao yang tiba-tiba sering bersikap manis dan menggodanya. Hari-hari mereka kini dipenuhi dengan guyonan dan senda gurau bukan lagi kekesalan, umpatan atau kebencian.

Minghao semakin lama semakin mengenal sosok Jaein. Berawal dari Minghao yang kini sering mengantar Jaein pulang. Minghao mulai mengenal latar belakang, keluarga dan teman-teman Jaein di grupnya Girls Attack. Ternyata di balik sikap angkuh dan cueknya, Jaein adalah anak yang baik dan ramah. Dia sangat beruntung karena banyak orang yang memperhatikanya, meskipun dia terlahir dari keluarga sederhana.

Begitu juga sebaliknya, Jaein mulai mengenal sosok Minghao yang ternyata lebih menderita ketimbang dirinya. Dibalik kekayaan dan harta melimpah, ternyata Minghao kurang mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Mereka pun diam-diam saling menyimpan rasa simpati dan empati yang besar satu sama lain. Hingga rasa simpati dan empati itu mulai berubah menjadi perasaan yang lebih besar. Sesuatu seperti cinta mungkin.

*******
Hari ini adalah hari dimana pensi dilaksanakan. Semua pengisi acara terlihat melakukan beberapa pemanasan dan gladi sebelum tampil, begitu juga dengan Minghao dan Jaein. Namun Jaein terlihat sedang tidak baik-baik saja. Wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Minghao menjadi sangat khawatir melihat keadaan Jaein yang seperti itu. Dia meminta pada Jaein untuk tidak tampil dalam pensi dan pergi istirahat. Namun Jaein terus meyakinkan bahwa dia baik-baik saja. Mereka harus tampil untuk memperbaiki nilai mereka. Minghao pun hanya bisa pasrah dan menuruti ucapan Jaein.

Setelah penampilan memukau dari sebuah band sekolah, kini giliran Minghao dan Jaein.

“Kau yakin bisa melakukan ini Jaein-ah” ucap Minghao cemas.

Jaein tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

Minghao membalas senyuman Jaein dan membawa tubuh gadis itu dalam pelukanya. Setelah MC memanggil nama mereka, mereka naik ke atas panggung dan mulai mengatur posisi.

Sorot lampu mengarah pada Minghao bertepatan dengan musik pengiring yang dimainkan. Breakdance move memukau Minghao selama 1 menit membuat penonton memberikan tepuk tanganya. Dan kemudian sorot lampu mengarah pada Jaein. Jaein merasakan kepalanya sangat pusing. Tapi dengan sekuat tenaga dia menahanya dan mulai melakukan gerakan lady style yang terlihat sangat enerjik.

Setelah itu mereka mulai melakukan koregrafi lyrical yang merupakan bagian utama dalam pertunjukkan mereka. Mereka menari dengan penuh emosi dan penjiwaan yang besar. Meskipun Jaein merasakan sakit pada tubuhnya, tapi power gadis itu ketika menari sama sekali tidak menurun. Power nya sangat stabil di imbangi dengan power Minghao. Tarian mereka sangat mengagumkan. Para penonton berteriak riuh dan terus bertepuk tangan selama mereka menari.

Setelah 6 menit berlalu, akhirnya mereka menyelesaikan pertunjukkan mereka dengan sangat baik. Para penonton masih berteriak dan bertepuk tangan menunjukan sebuah kepuasan pada tarian yang dibawakan Jaein & Minghao. Jaein & Minghao masih berdiri di atas panggung sambil mencoba mengatur nafas yang tersengal-sengal.

“Kau hebat Jaein-ah” ucap Minghao.

Dia harus berkata tepat di telinga Jaein agar Jaein bisa mendengar ucapanya karena suasana sangat ramai dengan suara musik dan suara penonton yang riuh.

Jaein tersenyum tipis “Kau juga”

Minghao tersenyum simpul.

“Bolehkah aku meminta hadiah taruhanku sekarang?” ucap Minghao lagi.

“Tentu saja” ucap Jaein sembari tersenyum.

Jaein meringis ketika merasakan kepalanya semakin terasa sakit. Dia mengepalkan tanganya dan meremasnya kuat menahan sakit yang semakin menjadi-jadi itu sembari fokus mendengarkan ucapan Minghao.

Minghao berdehem sebentar.

“Dengarkan baik-baik”

“Aku ingin kau menjadi …..”

Belum sempat Minghao menyelesaikan ucapanya, Jaein tiba-tiba jatuh. Dia pingsan dan tak sadarkan diri. Wajah Minghao berubah terkejut dan panik. Dia berkali-kali menepuk-nepuk pipi Jaein dan memanggil nama Jaein berkali-kali. Namun, tak ada respon apa pun dari Jaein. Minghao semakin panik ketika melihat darah segar mengalir dari dalam hidung Jaein. Tak selang berapa lama petugas medis datang dan segera membawa Jaein kerumah sakit terdekat.

Minghao yang sangat panik dan khawatir segera menyusul Jaein dengan mobilnya. Pikiran, hati bahkan matanya seakan dibutakan oleh kepanikan jika terjadi sesuatu dengan gadis yang ternyata dicintainya. Minghao melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tak peduli dengan lampu merah yang menyala, Minghao dengan nekat menerobosnya. Bersamaan dengan truck besar yang sedang menyebrang dan tabrakan pun tak dapat dihindarkan. Kepala Minghao membentur keras kemudi mobilnya.

“Jaein-ah. Jaein-ah” ucap Minghao lirih.

Dan setelahnya dia tak sadarkan diri.
.
.
Minghao mengalami koma setelah kecelakaan itu. Kedua orang tuanya langsung kembali ke Korea dan menjaga anak semata wayangnya itu selama 24 jam. Mereka bahkan meninggalkan pekerjaan mereka untuk menjaga Minghao. Jun yang datang untuk menjenguk, menceritakan semua keluh kesah Minghao yang diceritakan Minghao kepadanya selama ini kepada kedua orang tua Minghao. Ibunya seketika itu juga menangis. Orangtuanya merasa sangat menyesal. Mereka tak henti-hentinya memohon dan memajatkan doa agar Minghao bisa segera sadar dan bisa segera mengucapkan kata maaf dan menyesal kepada Minghao.

Hal yang sama terjadi pada Jaein. Jaein mengalami koma karena penyakit kelainan saraf otak. Penyakit itu ternyata sudah di idam Jaein selama 6 bulan terakhir. Namun dia mengira bahwa itu adalah sakit kepala biasa dan tidak memeriksakanya pada dokter. Ibunya dengan setia menungguinya. Doa dan harapan terus dipanjatkanya agar anaknya itu bisa segera sadar. Sesekali dia menangis membayangkan bila Jaein pergi dari hidupnya. Namun pikiran itu ditepisnya jauh-jauh. Ibunya sangat yakin bahwa Jaein akan segera sadar. Begitupun dengan Myungji, Misoo, Zinni dan Dohee yang tak pernah absen untuk menjenguk Jaein. Mereka juga terus berdoa agar Jaein bisa segera membuka matanya.

2 tahun kemudian.
Seorang pria jangkung terlihat memandang sendu jauh keluar jendela dari dalam sebuah kamar rumah sakit. Dia duduk di atas sebuah kursi roda. Pakaian pasienya telah berganti dengan setelan celana jeans dan sweter cream tebal yang menutup hingga lehernya. Dia masih memikirkan seorang gadis yang selalu hadir dalam mimpinya. Seorang gadis dengan rambut pirang dan senyum menawan. Seorang gadis yang selalu di rindukanya dan seorang gadis yang harusnya tau perasaanya yang sesungguhnya.

Aku merindukanmu Jaein-ah. Mengapa kau tak mengatakan apa pun ketika kau hadir dalam mimpiku? Apakah kau baik-baik saja? Apakah kau memang selalu tersenyum seperti itu? Seperti saat kau hadir dalam mimpiku?

Sebuah tepukan lembut di pundaknya, membuyarkan pikiran lelaki itu. Dia menolehkan kepalanya dan di dapatinya senyum lembut seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya.

“Bolehkah aku berjalan-jalan sebentar sebelum pergi ayah?” ucap lelaki itu.

Sang pria tua tersenyum sembari mengangguk pelan.

“Kembalilah sebelum petang. Kita harus segera pergi ke bandara”

Lelaki itu mengangguk mengerti dan kembali tersenyum.
Kini Minghao telah berada di taman kota. Dia tersenyum tipis. Dia mengingat betul bagaimana tempat ini menjadi tempat bersejarah baginya. Di tempat ini dia mendapatkan gelar juara bertahan, di tempat ini dia banyak melakukan banyak battle dengan macam-macam lawan dan di tempat ini juga dia bertemu dengan Jaein.

Matanya kembali berkaca-kaca ketika sekelebat bayangan Jaein lewat dalam pikiranya. Dia masih mengingat betul bagaimana rupa Jaein. Dia juga masih mengingat betul bagaimana rasa bencinya berubah menjadi rasa cinta yang besar kepada gadis itu.

Apakah Tuhan mempertemukan dan memisahkan kita dengan cara seperti ini Jaein-ah? Kalau iya, aku merasa Tuhan tidak adil padaku. Bagaimana bisa dia mempertemukan kita dengan rasa benci lalu memisahkan kita setelah merubah rasa benci itu mejadi cinta yang begitu dalam seperti ini.

Setetes bulir bening melesat jatuh dari kedua mata sendu Minghao.

Aku menyesal karena aku tak mengatakan bahwa aku mencintaimu sejak awal. Aku benar-benar menyesal Jaein-ah.

Air mata Minghao pun tak dapat terbendung lagi. Dia menangis.

Tuhan, tolong pertemukan aku denganya sekali lagi. Kumohon.

Minghao terisak di tengah suasana taman kota yang ramai. Dadanya terasa sangat sesak dan tubuhnya bergetar. Dia meletakkan tanganya di atas dadanya lalu meremas kuat kain sweter yang dipakainya. Rasa sesak di dadanya benar-benar terasa menyakitkan untuknya.

“Laki-laki macam apa yang menangis?”

Suara ketus namun lirih dari seorang wanita seketika menghentikan isakan Minghao. Minghao segera mengangkat kepalanya semula menunduk. Dia tertegun ketika melihat penampakan gadis yang ada di depanya. Gadis itu duduk di atas kursi roda sembari tersenyum. Kepala gadis itu terlihat tertutup kain perban putih. Meskipun wajahnya pucat, tapi dia tetap terlihat cantik. 

“Hai, breakdancer yang payah” ucap gadis itu lagi sembari tertawa kecil.

.
.

Ruangan ini masih sama. Kaca-kaca yang tertempel di tembok masih terlihat bersih. Sound system, DVD Player dan TV Flat pun masih tertata rapi di tempatnya. Sama sekali tidak ada yang berubah dengan studio dance ini.

Minghao perlahan berdiri dari kursi rodanya. Sebenarnya kemampuan berjalanya belum sepenuhnya pulih karena koma yang di alaminya tapi jika hanya harus melangkah beberapa meter saja, rasanya dia sanggup. Tanganya kemudian terulur ke depan gadis di sampingnya. Gadis itu tersenyum dan meraih tangan Minghao. Minghao membantu gadis yang terlihat lemah itu untuk berdiri.

Si gadis melingkarkan tanganya di leher jenjang Minghao sedangkan tangan Minghao mendekap pinggang gadis itu erat. Kening mereka saling bersentuhan dan mereka saling melempar senyum manis dari kedua sudut bibir mereka.

“Apakah tidak apa-apa jika kau bergerak banyak setelah operasi mu?” tanya Minghao.

Si gadis tersenyum dan kemudian menggelengkan kepalanya. Setelah ini tubuh mereka mulai bergerak pelan ke kanan dan ke kiri.

“Aku merindukanmu Jaein-ah” ucap Minghao kemudian.

“Aku juga” jawab Jaein lirih.

Mereka pun kembali sama-sama tersenyum dengan tubuh yang masih bergerak ke kanan dan ke kiri.

“Bisakah aku mendapatkan hadiah taruhanku sekarang?” ucap Minghao lagi.

Jaein tertawa kecil “Kau masih saja mengingat itu? Ingatan mu sungguh baik Minghao-ssi”

“Tentu saja aku harus tetap mengingatnya. Itu adalah pertama kalinya aku mengalahkan mu dalam battle setelah sekian lama” ucap Minghao sembari mengerucutkan bibirnya.

Jaein kembali tertawa kecil “Baiklah, cepat katakan”

Minghao tersenyum tipis “Harusnya aku mengatakan ini saat pensi sekolah”

Minghao berdehem sebentar “Aku mau kau menjadi pacarku. Aku mencintaimu Jaein-ah. Entah sejak kapan perasaan ini timbul yang jelas aku benar-benar mencintaimu” ucapnya kemudian.

Jaein tersenyum “Tanpa aku jawab kau pasti sudah mengertahui jawabanya Minghao-ah. Aku juga mencintaimu”

Minghao kembali tersenyum simpul lalu memeluk gadis itu erat. Ucapan terimakasih dan kecupan singkat di puncak kepala Jaein menandakan bahwa hatinya sangat bahagia saat ini.

“Kalau begitu aku juga ingin meminta hadiah taruhanku juga kali ini” ucap Jaein setelah pelukan mereka terlepas.

Minghao mengerutkan dahinya bingung lalu dia menepuk dahinya sendiri ketika mengingat sesuatu.

“Baiklah cepat katakan juga apa yang kau inginkan” ucap Minghao.

Jaein kembali tersenyum. Lalu dia menekan tengkuk Minghao dengan tanganya yang melingkar di leher Minghao. Membuat jarak wajah mereka semakin dekat.

“Cium aku seperti waktu itu. Karena ciuman itu yang membuatku jatuh cinta pada pria menyebalkan sepertimu” ucap Jaein tepat di wajah Minghao.

Hanya senyuman tipis yang mengembang di wajah Minghao dan tak perlu berbasa-basi, Minghao mulai mencium gadis pujaanya itu dengan lembut. Ciuman yang begitu dalam. Ciuman yang menandakan betapa besarnya cinta mereka berdua.

.
.

Jaein telah kembali sehat setelah operasi besar yang dilakukanya. Operasi itu berjalan lancar. Dengan bantuan doa dari ibu dan ke-4 temanya dan biaya operasi yang dibiayai oleh orang tua ke-4 temanya dengan sukarela. Minghao pun dapat sadar dari koma. Sebuah keajaiban yang diberikan Tuhan untuk mereka berdua.

Pertemuan mereka di taman kota saat itu adalah pertemuan yang tidak di sengaja. Minghao dan Jaein mengikuti kata hati mereka untuk pergi ke sana dan lagi-lagi Tuhan mempertemukan mereka di tempat itu dengan rasa dan kondisi yang berbeda. Minghao yang membenci Jaein atau Jaein yang selalu meremehkan Minghao. Melainkan perasaan saling rindu dan cinta yang begitu dalam di antara keduanya. Bukan lagi dalam kondisi dance battle yang kental akan persaingan, melainkan dalam kondisi yang lemah dan saling tak percaya.

Minghao berkata pada Jaein bahwa dia akan kembali China. Dia pergi kesana untuk menjalani pemulihan dan akan melanjutkan sekolahnya di negara asalnya itu. Selain itu orang tua nya juga tidak ingin meninggalkan Minghao sendirian lagi. Minghao juga meminta Jaein untuk ikut denganya, namun Jaein menolaknya. Dia tidak bisa meninggalkan kota ini terutama ibu dan teman-temanya. Jaein akan tetap tinggal di sini sembari memulihkan keadaanya juga. Dia juga akan melanjutkan sekolahnya setelah benar-benar sembuh.

Mereka mengikat janji dengan jari kelingking yang saling bertautan. Jaein berjanji akan menunggu Minghao kembali dan Minghao juga berjanji dia akan kembali. Kembali dan melamar gadis itu untuk menjadi istri dan masa depanya kelak. Sebuah janji yang manis dan disertai dengan anggukan mantap dari Jaein.

“Aku mencintai mu Jaein-ah”

“Aku juga mencintai mu Minghao-ah”

.
.

Tuhan mempunyai cara yang unik untuk mempersatukan dua insan yang saling mencintai. Benci jadi cinta, secara garis besar memang itulah yang terjadi pada Minghao dan Jaein. Tapi percayalah, Tuhan telah memberikan sepercik rasa cinta di hati mereka masing-masing saat awal mereka bertemu. Street dance battle itu adalah awal bagaimana mereka bisa bersama seperti sekarang. Meskipun rasa benci yang muncul terlebih dahulu namun takdir tetaplah takdir. Pada akhirnya cinta itu tumbuh dengan sendirinya.  

Ahhh, jika berbicara tentang cinta memang selalu rumit dan tak akan ada habisnya.

END

NOTE : Dance Lyrical Minghao & Jaien di sini bisa di lihat di youtube. Just go to youtube and search If I Were A Boy (Hip Hop) - Lauren and Dominic (All Star) atau lyrical dance hip hop lalu cari yang pake lagunya Beyonce- If I Were A Boy. Meskipun bukan Minghao sm Jaein yang ngedance, tapi kira-kira seperti itu lah tarian mereka di ff ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar